My Task 2
Pemimpin Berkualitas Bisa Merasa,
bukan Merasa Bisa
Indonesia makin demokratis. Tapi
kian berkualitaskah hasil demokrasinya? Para pemimpin Indonesia masih harus
belajar banyak dari Nelson Mandela.
Saat ini Indonesia sedang
menghadapi tantangan besar, apakah demokrasi dapat membawa bangsa ini pada
kemajuan dan kejayaan, ataukah sebaliknya justru menjerumuskan pada pertikaian
dan keterpurukan. Menurut Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah,
demokrasi sebenarnya hanya sebuah cara yang saat ini dianggap paling fair untuk
melahirkan kepemimpinan.
”Tapi kita sering dihadapkan
pada realitas proses demokrasi ternyata tak selalu melahirkan kepemimpinan yang
baik dan memuaskan rakyat,” kata Bang Din, sapaan akrab mantan ketua Jurusan
Perbandingan Agama Institut Islam Agama Islam (IAIN), kini Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kepada Qalam.
Din mengakui, demokrasi di
Indonesia memang masih hanya sekedar sebuah prosedur. Sementara dari segi
kualitas masih belum terlalu menjanjikan. Kepemimpinan yang dilahirkan proses
demokrasinya masih tidak berkualitas, dan tidak menjamin lahirnya kepemimpinan
ideal. Tapi, imbuh Din, kita tak boleh putus asa untuk mencobanya dengan penuh
kesabaran. ”Sebab, kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa
besar kedewasaan masyarakat yang terlibat,” tegasnya.
Oleh karena itu, pengasuh
Pengajian Orbit ini menegaskan, umat Islam Indonesia wajib mengawal demokrasi
agar semakin dewasa dan berkualitas. Sebab, dalam Islam kepemimpinan merupakan
tindakan fardlu khifâyah yang harus diupayakan. Bahkan, jika ada dua orang
Muslim bepergian, diwajibkan untuk menentukan dari salah satu di antara
keduanya sebagai pemimpin. Dan menjadi salah, jika umat Islam tak peduli atau
lari dari tanggungjawab kepemimpinan. Tapi, jangan pula mereka terjebak dalam
motivasi kepemimpinan yang salah.
Menurut Din, ada dua referensi
yang dapat selalu kita jadikan rujukan dalam melihat motivasi kepemimpinan.
Pertama, model Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Rasulullah SAW ditolak ketika
meminta jabatan. Karena Rasulullah tahu bahwa Abu Dzar tak akan mampu mengenban
amanah itu. Kedua, model Nabi Yusuf AS yang menawarkan diri untuk menjadi
bendaharawan negeri Mesir, karena menyadari kemampuan dirinya untuk
menyelamatkan Mesir dari paceklik panjang dan kebangkrutan (krisis
multidimensi).
Dari sini jelaslah, motivasi
kepemimpinan harus selalu dikembangkan atas dasar “sikap bisa merasa”, bukan
“sekedar merasa bisa”. Oleh karena itu, siapa saja anak bangsa yang ingin
tampil dalam kepemimpinan nasional, di manapun dan apapun levelnya, harus
menyadari bahwa memimpin adalah untuk berkhidmat demi umat dan rakyat. Sebab,
kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik. Dan Allah SWT
akan meminta pertanggungjawabannya.
Jangan Modal Ambisi
Sementara menurut Faturochman,
peneliti Puslit Kependudukan UGM Yogyakarta, menjadi pemimpin tidaklah mudah.
Dan lebih sulit lagi untuk menjadi pemimpin yang baik. ”Sayangnya, banyak orang
tidak menyadari bahwa mereka tidak layak menjadi seorang pemimpin. Ambisi besar
malah sering menjadi modal satu-satunya,” ujar dosen Fakultas Psikologi UGM
ini.
Pemimpin yang demikian tentu
akan menggunakan cara-cara kurang terpuji guna mencapai puncak tujuan. Ia akan
sulit menjadi teladan yang baik. Karena, melalui jalur legal dan benar saja
belum menjadi jaminan untuk bisa menjadi teladan. Terlebih sebagai pemimpin,
setiap saat ia akan disorot dan diuji untuk menjadi teladan. Sebalik cacat saja
akan mengakibatkan banyak reaksi negatif mengalir kepadanya.
”Keteladanan seorang pemimpin
bisa dipahami dengan konsep belajar sosial yang banyak dibahas dalam
psikologi,” papar Faturochman. Menurut konsep belajar sosial, untuk menjadi
teladan, pemimpin harus benar-benar bisa menjadi pusat perhatian yang positif
dan menarik. Perhatian masyarakat terhadap pemimpinnya, akan banyak menimbulkan
proses psikologis masyarakat. Ucapan dan perilakunya akan banyak dijadikan
referensi.
Bila kebijaksanaan-kebijaksanaan
para pemimpin itu menguntungkan anggota masyarakat, itu menjadi reward untuk
menguatkan anggapan dan perilaku yang terbentuk. Dengan demikian, keteladanan
yang terbentuk akan menjadi sangat kuat terhadap masyarakat. Dan pemimpin yang
mempunyai hubungan psikologis erat dengan anggota masyarakat, cenderung akan
banyak mendapat toleransi bila sekalipun ia melakukan kekeliruan.
Lebih jauh Faturochman
mengungkapkan, masyarakat yang meneladani pemimpin, berarti mereka
mengidentikasi diri seperti para pemimpinnya. Menurut Herbert Kelman (1961),
identifikasi diri merupakan puncak dari kompromi dan kepatuhan terhadap
pemimpin. Bila anggota masyarakat telah mengidentifikasi (baca: meneladani)
pemimpinnya, maka apapun yang dilakukan dan diinginkannya akan dituruti.
Namun untuk mencapai pada
tingkat keteladanan yang tinggi, bukan hal yang mudah. Karena, untuk sekedar
kompromi dan patuh kepada pemimpin, tak perlu sampai perlu meneladaninya.
Seringkali, pemimpin hanya ingin anggota yang dipimpinnya mengikuti berbagai
aturan yang ia buat. Dengan kata lain, ia hanya ingin anggota masyarakat patuh
kepadanya.
Keadaan ini merupakan pola
terentan dalam hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kepatuhan yang lemah ini,
biasanya hanya digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari sanksi.
Bila tak ada sanksi, mereka akan berbuat seenaknya. Seperti pola hubungan ABS
alias asal bapak senang. Di depan mereka patuh, namun di belakang mereka
mencibir.
8 Pelajaran dari Nelson Mandela
Mendengar kata ”politikus”,
banyak orang sontak mendadak mual. Yang terbayang adalah monster-monster yang
merampok uang negara. Tak heran jika Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika
Selatan (Afesl), terlihat bagai seorang suci (santo) di dunia politik yang
kotor. Ia mampu membawa Afsel yang apartheid menuju ranah demokrasi.
Banyak orang di dunia
mengagungkan tokoh ini. Lantas, apa rahasia kepemimpinannya? Wawancara terbaru
Mandela dengan Majalah TIME mengungkap delapan prinsip kepemimpinannya yang
patut ditiru semua pemimpin di dunia ini.
1. Courage is not the absence of
fear, it’s inspiring others to move beyond it. Mandela kerap kali merasa
gentar, tapi menurutnya itu wajar dialami seorang pemimpin. Tapi, ia tidak
ingin menunjukkan rasa takut itu di hadapan orang lain. Keberanian yang ia
tampilkan, meski kadang hanya pura-pura, mampu menenangkan kekhawatiran dan
menyemangati orang di saat-saat sulit.
2. Lead from the front, but
don’t leave your base behind. Ketika Mandela memutuskan untuk memulai dialog
dengan Pemerintah apartheid, teman-temannya mengira ia sudah “menjual diri”.
Padahal Mandela dengan sabar membujuk mereka pelan-pelan.
3. Lead from the back, and let
others believe they are in front. Tugas seorang pemimpin, bukan untuk
menyuruh-nyuruh orang lain, tapi untuk menciptakan sebuah kesepakatan. Dalam
rapat-rapat, Mandela biasanya mendengarkan pendapat teman-temannya terlebih
dahulu. Ketika tiba giliran, ia akan merangkum semua pendapat itu, baru
mengutarakan pendapatnya sendiri, dan pelan-pelan mengarahkan hasil diskusi
tanpa nada memaksa atau memerintah.
4. Know your enemy, and learn
about his favorite sport. Di awal perjuangannya, Mandela bersikeras belajar
bahasa Afrikaan, bahasa orang kulit putih Afrika Selatan, dus sejarah
kolonialisasi mereka. Ia bahkan berusaha mendalami rugby, olahraga favorit
mereka. Wal hasil, ia dihormati lawan, mulai dari sipir penjara, hingga P.W.
Botha (Presiden kulit putih Afsel di masa apartheid). Dialog dengan mereka juga
menjadi lancar.
5. Keep your friends close, and
your rivals even closer. Orang-orang dekat Mandela tak selalu orang yang ia
sukai. Tak jarang mereka justru rival, atau orang-orang yang digosipkan
berusaha menggulingkannya. Tapi Mandela percaya, dekat dengan rival adalah satu
cara untuk mengendalikan mereka.
6. Appearances matter, and
remember to smile. Mandela percata, apa yang tampak di luar sama pentingnya
dengan apa yang ada di dalam diri. Karenanya ia benar-benar menggunakan
penampilan fisik untuk membantu perjuangannya.
7. Nothing is black or white.
Meski Mandela jelas-jelas menentang apartheid, ia juga sadar bahwa apartheid
memiliki penyebab historis, sosiologis, dan psikologis yang kompleks. Karena
itu, ia tak pernah terpaku pada satu jalan untuk memecahkan masalah. Ia adalah
politikus yang pragmatis. Ia tak akan segan-segan mengubah ideologi atau
taktik, seperti menghentikan perjuangan bersenjata, jika memang itu cara paling
praktis untuk mencapai tujuan akhir.
8. Quitting is leading too.
Berhenti menjabat bukan berarti berhenti memimpin. Jasa-jasa Mandela cukup
signifikan untuk membuatnya menjadi presiden seumur hidup. Tapi dengan sukarela
ia tak ingin dipilih lagi. Baginya, yang diikuti dari seorang pemimpin bukan
hanya apa yang ia lakukan, tapi juga apa yang tidak ia lakukan.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur
yang dalam saya sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat saya
selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah
ini saya akan membahas “Pemimpin Berkualitas Bisa Merasa, Bukan Merasa
Bisa”, suatu permasalahan yang selalu dialami masyarakat, terutama masyarakat kecil.
Makalah ini
berisikan informasi tentang masalah masyarakat kecil yang kadang tertindas karena minimnya
perhatian pemimpin dan selalu menjadi topik utama di setiap perbincangan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir dan semoga makalah ini bias bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir dan semoga makalah ini bias bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Tanjungpinang, 19 Mei 2017
Penyusun,
Isah Maisarah
Komentar
Posting Komentar